Hari itu adalah jadwal saya untuk ikut serta di dalam pelayanan Perjamuan Kudus di rumah anggota jemaat yang sakit menahun. Kebanyakan dari mereka hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Itulah sebabnya para rohaniwan beserta Majelis Jemaat perlu mendatangi tempat tinggal mereka dan melaksanakan Perjamuan Kudus di sana. Ini adalah kali kedua saya terlibat di dalam pelayanan ini. Menariknya, saya selalu merasa bahwa sesungguhnya sayalah yang dilayani oleh oma-oma dan opa-opa yang semestinya saya layani. (Ya, inilah contoh keangkuhan seorang muda yang berpikir bahwa hanya yang sehatlah yang dapat melayani yang sakit. *malu*) Yang paling berkesan kali itu adalah ketika kami mengunjungi seorang oma berusia 94 tahun bernama Hafini. Meskipun usianya sudah sangat tua, otak oma masih tajam dan imannya teguh. Jarang sekali saya temukan yang seperti oma.
Kami menemuinya di dalam kamar tidurnya. Meski ia terbaring di atas tempat tidurnya, wajah oma Hafini begitu berbinar-binar. Ia menyambut kami dengan senyum manis. Kulit wajahnya yang sudah penuh dengan keriput sama sekali tidak dapat menutupi sukacitanya ketika melihat kami. "Cu, siapa namanya?", tanya oma Hafini. Saya harus menjawab dengan setengah teriak karena pendengarannya sudah melemah. Oma sangat menyadari keberadaannya yang sudah tua dan lemah. "Sekarang jadi kayak anak kecil lagi. Mandi dimandiin. Makan disuapin. Kalo makan sendiri, tangan ngegeter. Kuping udah budek," ujarnya. Lalu ia menceritakan kepada kami bahwa ia sudah mejadi anggota gereja kami sejak berusia 20 tahun! Ia bernostalgia bagaimana dulu ia mengunjungi anggota-anggota jemaat yang sakit, jalan kaki beberapa kilometer di bawah hujan. "Tapi sekarang udah nggak bisa lagi," ujarnya sedih. Suasana pun mendadak hening ketika ia menceritakan tentang anak tunggalnya, seorang pendeta, yang telah dipanggil oleh Tuhan mendahului dirinya.
Ketika sudah waktunya mengambil bagian di dalam Sakramen Perjamuan Kudus, oma meminta kami untuk membangunkannya. Dengan bersusah payah ia berusaha untuk duduk di atas tempat tidurnya. Saya sangat terharu melihatnya. Sebelum ia memakan roti dan meminum anggur, ia memejamkan matanya dan mengucapkan doanya dengan penuh keyakinan. Saya tidak ingat doanya secara rinci. Tapi satu kalimat ini saya ingat benar, "Tuhan Yesus, terima kasih untuk tubuh dan darah Tuhan yang sudah Tuhan berikan buat saya yang berdosa."
Sepulang dari kediaman oma Hafini, hati saya penuh dengan sukacita. Menyaksikan oma yang tetap teguh beriman kepada Tuhan meski tubuhnya sudah lemah dan tidak berdaya betul-betul menyegarkan iman! Saya ingin menjadi seperti oma Hafini di usia tua saya. Saya sangat yakin bahwa kesetiaan oma kepada Tuhan bukanlah produk instan. Pasti sejak masa mudanya oma selalu berjuang untuk setia kepada Tuhan! Terima kasih, oma. Tanpa oma sadari, oma sudah menguatkan saya untuk lebih serius dan lebih setia lagi di dalam melayani anak-anak muda, entah itu di dalam konteks gereja atau pun pelayanan kampus. "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." (Ams 22:6)
Ah, seandainya setiap anak muda yang mengaku Kristen memiliki semangat segigih dan iman seteguh oma Hafini...
No comments:
Post a Comment