“Tuhan, kami sangat bersyukur, jikalau di tengah-tengah kondisi bangsa kami dan dunia yang dihantam oleh berbagai bencana alam, kami masih memiliki tempat untuk tinggal, berteduh, dan gedung gereja ini untuk beribadah. Kami bersyukur bahwa Engkau menyediakan makanan kami sehari-hari di tengah-tengah banyak orang yang kelaparan di negeri ini. Kami memuji-Mu atas kasih setia-Mu kepada kami dan kami sangat bersyukur, Tuhan.” Doa ini diucapkan oleh seorang pendeta di dalam pertemuan ibadah Minggu di sebuah gereja yang saya hadiri beberapa waktu yang lalu. Tentunya doa ucapan syukur yang serupa pun sering diucapkan oleh banyak orang Kristen, khususnya di dalam masa-masa menjelang tahun baru seperti saat ini.
Doa sang pendeta mengingatkan saya kepada doa seorang Farisi di dalam perumpamaan yang diberikan oleh Tuhan Yesus. Lukas mencatatnya demikian, “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” (Luk 18:11-12) Di akhir perumpamaan ini, Lukas mencatat dengan jelas bahwa Tuhan Yesus tidak berkenan atas sikap angkuh sang Farisi: “[B]arangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Luk 18:14b)
Perumpamaan ini setidaknya mengajarkan satu hal: Tidak semua ucapan syukur yang kita ucapkan itu berkenan kepada Tuhan! Contohnya adalah doa orang Farisi tadi. Ucapan syukur tersebut hanyalah sebuah kosmetik religius untuk menyembunyikan niat busuknya untuk untuk menyombongkan diri dan menganggap dirinya lebih benar dibandingkan dengan orang lain. Bukankah doa sang pendeta tadi tidak jauh berbeda dengan doa sang Farisi yang munafik ini? Tidakkah egois jikalau beliau bersyukur atas kesusahan orang lain? Jikalau saya parafrasekan agar lebih eksplisit, doa pak pendeta tadi kira-kira berbunyi seperti ini, “Tuhan, kami bersyukur kami tidak kelaparan seperti orang-orang di Yakuhimo Papua. Tuhan, kami bersyukur kami masih memiliki ruang untuk ibadah tidak seperti jemaat GKPI di Jalan Danau Sentani, kabupaten Tangerang.” Inilah yang saya sebut sebagai egoisme yang berkedok ucapan syukur.
Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan adalah: Apakah memang ucapan syukur itu hanya bisa lahir dari hasil perbandingan antara kondisi kita dengan kondisi orang-orang yang kita anggap lebih sial “kurang beruntung” daripada kita? Apakah seseorang baru bisa bersyukur atas kelengkapan anggota tubuhnya setelah ia membandingkan diri dengan dan melihat orang-orang yang cacat? Apakah seseorang baru bisa bersyukur atas kecukupan hidupnya secara finansial setelah membandingkan dirinya dengan para pengemis yang harus mengais rezeki di tumpukan sampah? Saya pikir para pengikut Kristus perlu menjawab “tidak” kepada semua pertanyaan ini. Kita bisa bersyukur kepada Tuhan terutama dengan mengingat siapakah Tuhan itu dan apakah manusia itu di hadapan-Nya.
“Bapa Sorgawi, saya bersyukur atas kesehatan yang masih Engkau anugerahkan meskipun kadangkala saya lalai dalam menjaga kesehatan saya. Saya bersyukur atas kelengkapan anggota tubuh saya yang masih Tuhan jaga sekalipun terkadang saya menyakiti hati-Mu dan sesama saya dengan tubuh saya. Saya bersyukur atas pemeliharaan dan kasih setia Tuhan atas para korban bencana alam dan orang-orang kelaparan melalui manusia-manusia yang peduli dan mau berbagi dengan sesamanya. Ampuni saya jikalau saya belum berbuat apa-apa, Bapa. Tolong saya untuk bisa berbuat sesuatu bagi mereka sebagai ucapan syukur saya atas harta kekayaan, sedikit atau sebesar apa pun itu, yang Tuhan percayakan bagi saya. Saya bersyukur atas kesabaran Tuhan atas diri saya yang seringkali tidak tahu mengucap syukur. Jauhkanlah saya dari egoisme yang berkedok ucapan syukur. Tolong saya untuk tidak melewati hidup saya sedetik pun tanpa ucapan syukur, karena saya sadar sepenuhnya bahwa saya sama sekali tidak punya hak atas hidup saya. Tuhan Pencipta Langit dan Bumi, Engkaulah pemilik hidup saya. Pada-Mu sajalah segala ucapan syukur patut dinaikkan oleh setiap makhluk yang bernafas. Amin.”
Selamat menjelang tahun baru 2010 dengan penuh ucapan syukur!
Bogor, 31 Desember 2009